iklan

Mengungkapkan Isi Informasi Buku yang Diresensi



Assalamualaikum Wr. Wb
semoga hari ini kita selalu dalam keadaan sehat dan terhindar dari marabahaya,

sebelum kita belajar, alangkah baiknya kita mulai dengan berdoa
selanjutnya, untuk mengabsen kehadiran saya minta kalian untuk menuliskan nama kalian dikolom komentar yah...

mari kita belajar pelajaran bahasa Indonesia, lanjutan materi yang kemarin yaitu resensi
baca dan pamahi materi pelajaran kita kali ini

Perhatikanlah contoh resensi berikut!

Judul           : Laila-Madjnoen (Tjeritera di Tanah Arab); Laila Majnun karya Nizami; Layla Majnun, Roman Cinta Paling Populer & Abadi
Penulis        : Hamka (Hadji Abdul Malik Karim Amrullah)
Penerbit       : Balai Poestaka, 1932; Ilman Books, 2002; Navila, 2002
Tebal            : 74 halaman; 222 halaman; 200 halaman

Kalau ada kisah cinta abadi antara seorang perempuan dan laki-laki yang menjadi legenda di dunia Timur, itulah legenda Layla dan Majnun. Kisah ini begitu melegenda sehingga muncul banyak versi menyangkut lika-liku hubungan cinta Layla dan Majnun.

Ada anggapan bahwa kisah cinta Layla-Majnun ini hampir-hampir menyerupai cerita Romeo and Juliet karya sastrawan Inggris, William Shakespeare, terutama dalam hal tragedi yang menyelubungi hubungan cinta sepasang kekasih. Meski demikian, cerita Romeo and Juliet adalah salah satu karya yang ditulis oleh tangan William Shakespeare pada abad ke-16. Sementara itu, Layla dan Majnun merupakan sebuah cerita yang dikisahkan dari mulut ke mulut dan baru pada abad ke-12 dituliskan oleh seorang penyair dari Azerbaijan, Nizami Ganjavi, dalam bentuk syair. Versi Nizami inilah yang kemudian merupakan cerita yang paling populer.

Menurut Jean-Pierre Guinhut, seorang orientalis dan ahli mengenai kebudayaan dan filsafat Timur yang juga pernah menjadi Duta Besar Perancis untuk Azerbaijan, pengaruh cerita Layla-Majnun ini melampaui tradisi Timur. Jika melihat kembali ke masa Abad Pertengahan, yaitu sekitar abad ke-11-13, banyak dari karya sastra Barat saat itu memiliki jejak sastra oriental yang kemudian memengaruhi karya-karya sastra seperti cerita kepahlawanan Jerman abad ke-13 berjudul Tristan und Isolde yang ditulis oleh Gottfried von Strassburg atau dongeng Perancis, Aucassin et Nicolette.

Sampai saat ini, kisah Layla-Majnun merupakan cerita yang paling populer di Timur Tengah maupun Asia Tengah, di antara bangsa-bangsa Arab, Turki, Persia, Afgan, Tajiks, Kurdi, India, Pakistan, dan Azerbaijan. Kepopuleran kisah ini memberi inspirasi banyak seniman, baik pelukis, pemusik, maupun pembuat film, menciptakan beragam karya seni yang menggambarkan kisah-kasih Layla dan Majnun.

Di dalam buku terbitan Balai Poestaka ini dikisahkan tentang Qais dan Layla yang hidup di negeri Nedjd, salah satu wilayah di tanah Arab. Mereka adalah sepasang remaja yang sejak kecil sering bermain bersama dan ketika menginjak remaja pergi belajar di sekolah yang sama. Qais berwajah tampan, sementara Layla adalah gadis rupawan yang menjadi dambaan setiap laki-laki. Keduanya saling jatuh cinta, namun adat melarang mereka mengekspresikan gelora cinta secara terbuka. Dengan demikian, perasaan keduanya hanya ditumpahkan dalam bentuk syair ketika mereka mempunyai kesempatan bertatap muka secara diam-diam.

Suatu ketika Qais memutuskan untuk ikut bersama ayahnya, Al- Mulawwah, berniaga ke negeri lain agar kelak ia memiliki bekal pengetahuan sendiri tentang perniagaan. Pamitlah ia kepada Layla dan
memberikan seuntai kalung mutiara sebagai tanda kesetiaannya. Qais meminta Layla untuk melepaskan sebuah mutiara dari untaiannya apabila waktu sudah menunjukkan bulan baru. Meskipun sangat sedih, Layla merelakan kekasihnya pergi mencari pengalaman.

Sepeninggal Qais, Layla hanya bermenung diri dan menciptakan syair sebagai pelambang rindu. Suatu hari, ayah Layla, Al-Mahdi, pulang ke rumah bersama seorang tamu bernama Sa’d bin Munif, yang diajak menginap. Tamu itu seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Irak. Ketika berjumpa Layla, Sa’d bin Munif langsung jatuh cinta dan melamar Layla kepada ayahnya. Tanpa sepengetahuan Layla, Al-Mahdi menerima lamaran tersebut karena tergiur oleh mas kawin 1.000 dinar dan harta kekayaan Sa’d bin Munif. Layla tak berdaya melawan perintah ayahnya karena adat memang menyatakan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan.

Sementara itu, Qais yang telah memasuki bulan ke-9 ikut berniaga ke negeri-negeri seperti Damsjik, Jerusalem, Hims, Halab, Anthakijah, Irak, Koefah, hingga Basrah tidak dapat lagi menahan rindunya terhadap Layla. Wajahnya tampak muram dan badannya semakin kurus. Ayah Qais melihat kesedihan anaknya dan menanyakan ada apakah gerangan yang telah mengganggu pikirannya. Akhirnya Qais berterus terang tentang kisah cintanya dengan Layla. Demi mendengar penuturan anaknya, Al-Mulawwah memutuskan segera kembali ke kampung halamannya dan berjanji akan melamar Layla untuk Qais.

Ketika sampai kampung halaman, Al-Mulawwah bergegas menemui ayah Layla dan menawarkan 100 unta sebagai pengganti uang 1.000 dinar yang telah diberikan Sa’d bin Munif. Akan tetapi, dengan sombongnya, ayah Layla menolak lamaran Al-Mulawwah. Tak berapa lama kemudian,
pesta perkawinan Layla dan Sa’d bin Munif diselenggarakan secara besarbesaran. Hancur luluhlah hati Qais. Tak ada satu obat pun yang bisa menyembuhkan sakitnya ini, meskipun orang tuanya telah mendatangkan banyak tabib ternama. Sejak itu Qais tidak mau berbicara kepada orang lain, ia sibuk dengan dirinya sendiri dan sering kali terlihat berbicara sendiri. Karena perilaku aneh inilah orang sekampungnya memanggil Qais dengan Majnun, yang berarti kurang sempurna pikirannya.

Lain halnya dengan Layla, meskipun kini telah menjadi istri Sa’d bin Munif, ia tetap mencintai Qais. Menurut Layla, secara fisik ia boleh menjadi istri Sa’d bin Munif, tetapi jiwanya tetap untuk Qais. Dalam ungkapannya, di dunia Qais dan Layla bukanlah pasangan suami istri, tetapi di akhirat
mereka menjadi pasangan abadi. Karena tak kuat menanggung penderitaan cinta ini, Layla sakit dan selalu memanggil nama Qais. Akhirnya Qais pun dipanggil untuk menemui Layla. Ketika mereka bertemu, Layla memberi pesan terakhir bahwa mereka akan bertemu nanti di akhirat sebagai sepasang kekasih. Demi melihat kekasihnya meninggal, putus asalah Qais. Tak ada lagi keinginannya untuk hidup. Sehari-hari kerjanya hanya duduk di pusara Layla hingga akhirnya Qais meninggal. Jasad Qais pun dibaringkan di samping pusara Layla.

Kira-kira 10 tahun kemudian, beberapa musafir menziarahi kubur mereka berdua. Di atas kedua pusara itu telah tumbuh dua rumpun bambu yang pucuknya saling berpelukan. Masyhurlah kisah ini sebagai kisah Layla-Majnun.

Tujuh puluh tahun setelah penerbitan buku ini oleh Balai Poestaka, pada tahun 2002 kisah ini dibukukan kembali oleh dua penerbit, Ilman Books dan Navila, masing-masing dengan judul Laila Majnun dan Layla Majnun, Roman Cinta Paling Populer & Abadi. Di dalam kedua buku itu
disebutkan bahwa kisah yang ditulis merupakan saduran karya Nizami dari buku berbahasa Arab dengan judul Qays bin al Mulawah, Majnun Layla dan versi bahasa Inggris berjudul Laili and Majnun: A Poem serta Layla and Majnun By Nizami.

Meskipun ketiga buku tersebut sama mengungkap tragedi kisah cinta Layla dan Majnun, tetapi terdapat beberapa perbedaan menyangkut detail cerita. Pertama, di dalam buku terbitan Balai Poestaka disebutkan bahwa Qais adalah anak saudagar bernama Al-Mulawwah, yang sering bepergian ke negeri-negeri lain untuk berniaga. Sementara di dalam dua buku yang terbit tahun 2002 hanya disebutkan bahwa Qais adalah anak semata wayang seorang saudagar bernama Syed Omri atau Sayid. Ayah Qais dikabarkan telah lama menanti kehadiran anak semata wayangnya untuk meneruskan garis keturunan keluarga.

Perbedaan kedua, di buku Balai Poestaka, suami Layla dikabarkan pergi dari negeri Nedjd setelah kematian Layla. Sementara di buku terbitan 2002, suami Layla, Ibnu Salam, meninggal lebih dahulu dibandingkan dengan Layla. Beberapa perbedaan ini disebabkan, pertama, banyaknya penyair ataupun sastrawan yang menuliskan kisah Layla-Majnun. Kedua, lebih banyak lagi penulis yang menyadur kisah Layla-Majnun berdasarkan syair yang ditulis para penyair atau sastrawan tadi.

Kepopuleran kisah Layla-Majnun ini membuat dua buku terbitan tahun 2002 itu mengalami cetak ulang beberapa kali. Bahkan, buku terbitan Navila menjadi buku paling laris dengan mencetak rekor memasuki cetakan ke-18 pada bulan Mei 2004. Sementara buku terbitan Ilman Books telah masuk periode cetakan ke-6 pada tahun 2004 ini.

Kemasyhuran kisah Layla-Majnun ini juga telah memberi inspirasi kepada sutradara kondang Indonesia, almarhum Sjumandjaja, untuk membuat cerita bagi layar lebar. Pada tahun 1975, dibuatlah film berjudul Laila Majenun dengan bintang utama Rini S. Bono sebagai Laila dan Ahmad Albar sebagai Majenun. Film ini pun mengantongi penghargaan untuk kategori Aktor Pembantu Terbaik bagi almarhum Farouk Afero pada Festival Film Indonesia 1976.
(Sumber: Harian Kompas)

Setelah kalian membaca teks resensi tadi, buatlah kesimpulan dan ringkasan teks resensi yang telah kalian baca. MELALUI LINK DIBAWAH INI

KLIK DISINI UNTUK MENGERJAKAN TUGAS


Post a Comment

0 Comments