Karya : Siti Salikhiah
(Alumni MA Nur As Sholihat Tahun 2016)
Keteduhan memang masih ada dikampung yang jauh dari hingar
bingarnya budaya perkotaan. Polusi udara belum menyentuhnya, walaupun televisi
sudah mulai mempengaruhi gaya hidup anak anak muda.
Adalah dua kakak beradik yang hidup
dalam keluarga yang pas-pasan, bahkan lebih banyak kekurangannya. Tidak jarang
kedua kakak-beradik ini saling mengalah. Kalau hari ini kakaknya mengalah tidak
mendapat jatah, besok adiknya yang mengalah demi kakaknya. Tidak ada iri hati
dan juga tidak ada kebencian. Kebahagian adik adalah kebahagian kakak.
Hari itu mereka berdua bermain
bersama. Tidak sengaja, kakaknya menyenggol kacamata ayahnya yang ditaruh di
atas meja, terjatuh dan...
“prak”, pecah.
Keduanya saling pandang, bungkam dan
berpelukan, tidak ada kata tuduhan dan tidak ada kalimat saling menyalahkan.
Mereka kompak, diam dan tidak memberitahukan kepada ayahnya.
Ayahnya masuk dan mendapatkan
kacamatanya sudah pecah. Ayah yakin salah satu di antara kedua anaknya yang
menjatuhkannya. Keduanya hanya membisu saat ditanya.
“Ayu. Kamu yang menjatuhkan kacamata
ayah?”, pertanyaan ayah kepada anak pertama. Ayu diam menunduk, mengarahkan
pandangan matanya ke lantai dengan ketakutan.
“Rahma. Kamu yang menjatuhkan
kacamata ayah?”, giliran pertanyaan diajukan kepada adiknya. Rahma pun diam,
menunduk dan mengigit bibirnya.
“Kacamata ini tidak mungkin jatuh
sendiri tanpa ada yang menjatuhkan. Kalau tidak ada yang mengaku, semua akan
ayah hukum lebih berat”, ayahnya mengancam supaya ada yang mengaku. Mereka
berdua sadar, meskipun mengaku tetap akan dihukum, karena sudah tahu kebiasaan
ayahnya.
Mendengar ancaman ayahnya, Rahma
langsung angkat bicara.
“Maafkan Rahma ayah, Rahma yang
menjatuhkan”.
Rahma mengambil alih tanggung jawab
kakaknya demi cinta dan kasih sayang. Dia tahu konsenkuensi apa yang akan
diterima dari ayahnya.
“Buka tanganny, maju ke mari...!”,
perintah ayahnya yang sudah siap memegang pecahan bambu. Dan... “Bug... bug...
bug...” kayu itu mendarat bertubi tubi di kedua telapak tangan Rahma. Mata
Rahma meneteskan air mata mulutnya merintih rintih menahan sakit.
Ayu tidak tahan melihat ayahnya
memukuli adiknya. Dia hanya bisa menahan tangis dan lari ke kamarnya. Di dalam
kamar, ia tumpahkan tangisnya. Ada rasa bersalah yang tak mungkin dimaafkan
oleh adiknya. Ada sesal yang tak mungkin bisa dikembalikan. Mengapa harus
adiknya menanggung, padahal dirinya yang melakukan. Dia merasa telah berbuat
kesalahan dan mementingkan diri sendiri. Seharusnya, seorang kakak melindungi
adiknya, tapi kenapa justru adik yang menyelamatkna kakaknya dan terpaksa
mengambil alih tanggung jawab kakaknya.
Sejak saat itulah, Ayu berjanji pada
dirinya sendiri akan berbuat apa saja untuk adiknya agar kelak menjadi orang
yang sukses, berhasil, mengangkat harkat dan martabat orang tuanya, dibanggakan
oleh seluruh keluarganya.
Waktu terus berjalan. Kedua kakak
dan adik telah lulus SMP. Keduanya berhasil mendapatkan NEM yang mambanggakan
sekolahnya, 48.
Seharusnya mereka berdua diterima di
SMA yang menjadi idaman semua siswa. Ayah dan ibunya merasa gembira, anaknya
lulus SMP. Tetapi kegembiraan itu pupussetelah menyadari betapa tingginya biaya
pendidikan. Bagaimana bisa menyekolahkan kedua anaknya, sementara perekonomian
keluarga lebih banyak kurangnya daripada pasnya. Lagi lagi kedua kakak beradik
itu diuji kebersamaan dan rasa kasih sayangnya.
Mulanya sang adik bersihkeras
mengalah demi kakaknya, agar dapat melanjutkan ke SMA. Dia memilih tidak
meneruskan sekolah, membantu orang tua memperkuat perekonomian, agar kakaknya
bisa sekolah. Tetapi kakaknya sudah bersumpah dan berjanji, demi adiknya apapun
akan dilakukan. Rahma harus sekolah.
Kini Rahma sudah duduk di bangku SMA.
Biaya pendidikan bisa ditanggungi, apalagi Ayu ikut berkerja menghidupkan
keluarga ini. Masalahnya, sesudah tamat sekolah, Rahma harus melanjutkan ke
Perguruan Tinggi. Masih mampukah keluarga ini membiayai pendidikan Rahma sampai
tingkat selanjutnya.
“Mbak Ayu, Rahma sekolahnya sampai
SMA saja ya?”, Rahma menyampaikan keinginan itu kepada kakaknya. Dia cukup
memaklumi kondisi keluarga. Tetapi Ayu tidak menanggapinya, justru memberikan
motivasi dan mendorongnya untuk terus bisa melanjutkan sekolahnya.
“Rahma, kamu harus terus bisa
kuliah. Mbak akan berkerja ke kota agar kamu bisa terus kuliah. Biar Mbak yang
mencari biaya pendidikan kamu”. Ayu meyakinkan adiknya agar kelak menjadi orang
hebat.
Ternyata mencari kerja di kota tidak
mudah. Apalah arti ijazah SMP, paling paling menjadi pembantu rumah tangga,
atau pelayan toko. Itu pun harus punya koneksi. Masuk penampungan Yayasan
Penyedia PRT atau Baby sitter, harus nanti diberikan kepada pengelola
penampungan, atau tiga bulan gaji untuk yayasan. Cukup lama Ayu mondar mandir,
pindah kerja dari satu kerja ke tempat kerja lain hanya karena gajinya terlalu
kecil.
Sedangkan dia sudah punya komitmen
membiayai kuliah adiknya.
Lelah sudah usahanya untuk mengais
rezeki. Dalam kelelahan itu dia bertemu dengan seorang yang menawarkan
pekerjaan dengan gaji yang cukup besar. Tanpa berfikir panjang, tawaran itu
diterima. Dan mulailah ia berkerja.
Sungguh tak pernah terfikir dan tak
pernah dibayangkan, ternyata pekerjaan yang harus dilakukannya adalah menemani
laki laki hidung belang.
Apa mau dikata, terlanjur basah ya
sudah mandi sekalian. Cita citanya hanya satu yaitu membiayai kuliah adiknya.
Inilah sisi kehidupan kota. Wajah
wajah seperti Ayu terbilang jumlahnya. Motif dan latar belakang sangat
bervariasi dan berbeda beda. Ayu harus berkerja, tidak ada pilihan lain. Dia
tersenyum disaat orang orang tersenyum, disaat orang orang tersenyum, padahal
batinnya menjerit. Dia harus tampil all out, padahal hatinya hanya untuk
adiknya. Dia harus mampu mengairahkan, padahal tidak mempunyai semangat,
kecuali bagaimana cara mendapatkan uang. Yang paling membuatnya “terpukul”
adalah kata hatinya yang bertentangan dengan kenyataan. Dia harus berbohong
kepada kedua orang tuanya. Dia harus berbohong kepada adiknya, dia harus berbohong
kepada dirinya sendiri. Mereka semua tidak pernah tahu apa sebenarnya pekerjaan
Ayu, selain hanya mendapat jawaban kerja di hotel.
Perjalanan Ayu cukup panjang, dari
satu meja ke meja lain, dari kamar ke kamar, dari satu pelukan ke pelukan lain.
Pernah ayu mencoba untuk berhenti, tetapi cita citanya mengalahkan kata
hatinya. Pernah juga Ayu datang kepada seorang yang memiliki ilmu agama yang
kuat, tetapi hanya mendapat nasihat supaya berhenti dari pekerjaannya tanpa
memberikan solusi pekerjaan apa yang bisa mendatangkan rezeki.
Ayu sadar apa yang dia lakukan
adalah dosa besar. Maka itu di sela sela kesibukannya sebagai pramusyahwat. Ayu
masih melaksanakan ibadahnya dan berdoa menangis kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Tuhan adakah yang aku kerjakan ini
masih mendapat bagian dari pahala?Tuhan aku mohon Engkau memberikan jawaban,
siapakah yang lebih mulia di antara orang yang melacur demi mendapatkan
kemuliaan-MU, ataukah orang yang merampok, korupsi dan menggarong uang negara
untuk melacur? Tuhan, beri aku kesempatan untuk bertobat setelah selesai
tugasku memuliakan keluarga.”
Tidak sia sia perjuangan Ayu. Rahma
telah mampu menempuh pendidikannya dengan tepat waktu, berhasil mendapatkan
gelar sarjana. Tidak tanggung tanggung, Rahma menjadi mahasiswi teladan, dan
mendapat penghargaan.
Rahma tak kuasa menahan tangis
ketika disebut namanya, disaat wisuda, di saat profesor menyerahkan gulungan
kertas. Air matanya terus mengalir dan dadanya sesak menahan keharuan. Segera
dia berlari meninggalkan panggung kehormatan mencari Ayu, kakaknya, di antara
kerumunan orang banyak.
Semua perhatian orang tertuju
kepadanya, ada keheranan, karena upacara belum selesai. Ada yang ikut berlari
dibelakangnya, khawatir terjadi sesuatu. Ayu ditemukan duduk di deretan paling
belakang, lalu dipeluk dan dicium bertubi tubi. Keduanya terlibat dalam
keharuan, tak bisa berkata kata, selain isak tangis dan sesenggukan. Orang
bertanya tanya.
Di situlah, Rahma menyatakan bahwa
keberhasilannya adalah milik Ayu, kakaknya. Tidaklah sebanding pengorbanan
kakaknya dengan secarik kertas sertifikat IJAZAH yang diterima. Terlalu tinggi
nilai nilai kasih sayang dan persaudaraan seorang kakak kepada adiknya.
Ayu merasakan beban berat telah
lepas dari pundaknya. Ayunan langkahnya terasa ringan. Sumpah dan janjinya
telah dibuktikan. Tanggung jawabnya telah diselesaikan. Ayu kembali bersama
Rahma, kembali ke rumah, kembali kepada fitrahnya meninggalkan semua kehidupan
suram yang bertentangan dengan nuraninya.
Tidak ada yang terpikirkan lagi
kecuali sampai di rumah lalu langsung mengelar sajadah, sujud mohon ampun
kepada Tuhan.
Sesungguhnya Allah Maha Pemurah,
Maha Penyayang, Maha Pengampun dan menerima taubat.
0 Comments