Analisis Novel Kehilangan Mestika Karya Hamidah
Dalam kesusastraan Indonesia, masih sedikit kaum perempuan yang berkecimpung di bidang sastra, apalagi pada tahun sekitar 30-an. Dunia sastra masih didominasi kaum laki-laki. Tak heran jika cara pandang gender pun terjadi. Ideologi yang mendominasi masyarakat nampaknya turut memengaruhi cara pengarang dalam menempatkan tokoh perempuan dalam karyanya. Pertentangan pokok masyarakat Indonesia mulai dari sistem sosial yang memberikan kekuasaan yang besar terhadap golongan bangsawan yang meningi-ninggikan pangkat, hingga pada kekuatan sebagai pendukung kekuasaan adalah tantangan terbesar bagi kemerdekaan perempuan. Struktur sosial tersebut menempatkan perempuan sebagai objek tertindas, tersakiti, dan dilemparkan secara nista seperti pelacuran yang berpilar pada kepasrahan perempuan.
Begitu juga dengan novel Kehilangan Mestika, novel yang bercerita mengenai kisah sosok perempuan yang ingin membawa perubahan besar terhadap desanya namun banyak mengalami kemalangan tragis dengan kehilangan orang-orang yang disayanginya. Melalui tokoh “Hamidah” pengarang ingin mengajak pembaca untuk dapat juga merasakan kemalangan yang dirasakan oleh tokoh utama dalam novel ini, maka dari itu penulis tertarik mengkaji novel ini dengan mengambil tema “Kemalangan tokoh Hamidah” melalui pendekatan psikologi. Dengan mengacu pada cerita yang banyak menceritakan kemalangan serta perjuangan seorang perempuan, yang bertarung melawan jiwanya yang sedih dan kelam sendiri serta dari lingkungan yang terus menekannnya karena paradigma masayrakat yang masih melihat berdasarkan gender, maka gejolak jiwa tokoh “Hamidah” dianggap menarik untuk dibahas.
Rumusan Masalah
1.Bagaimana analisis objektif Kehilangan Mestika karya Hamidah?
2.Bagaimana Kemalangan Tokoh Hamidah dengan analisis psikologi dan pengaruhnya terhadap pembaca dalam Novel Kehilangan Mestika?
Tujuan
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui Kemalangan Tokoh Hamidah dengan analisis psikologi dalam Novel Kehilangan Mestika.
Pembahasan
Penggunaan nama samaran merupakan salah satu siasat penulis dalam "memasarkan" karyanya. Meskipun tidak selama alasan penggunaan nama samaran seperti itu, yang jelas pelauang menggunakan nama samaran tersebut melegakan hati kalangan penulis. Minimal, mereka dapat menyembunyikan identitas dirinya dari publik. Akan tetapi, kadangkala nama samaran seorang penulis itu lebih populer dari nama asli. Kesan seperti itu terlihat jelas pada pengarang Hamidah.
Hamidah adalah nama samaran Fatimah Hasan Delais. Hamidah dilahirkan di Bangka (Palembang) tanggal 8 Juni 1914. Ia berasal dari Bangka dan semasa hidupnya bekerja sebagai guru sesudah lepas sekolah Normal Gadis di Padang Panjang. Kecuali, menulis prosa, ia juga menulis puisi yang dimuat dalam Pendji Pustaka dan Pudjangga Baru. Ia meninggal tanggal 8 Mei 1953 di Palembang dalam usia 38 tahun. Novelnya Kehilangan Mestika mengandung unsur-unsur biografis.
Buku itu pertama kali terbit tahun 1935 dan dicetak ulang tahun 1937. Cetakan ke-3 menyusul tahun 1949 dan sesudah itu tambah sering dicetak dalam jumlah yang banyak, yaitu cetakan ke-4 tahun 1954 5000 buku, cetakan ke-5 tahun 1957 dan cetakan ke-6 tahun 1963, masing-masing 10.000 buku. Cetakan ke-4 habis dalam waktu satu tahun saja. sedang cetakan ke-6 dalam waktu 2 tahun. Jelaslah bahwa buku itu digemari sekali dan tidak kalah populernya dengan buku-buku Selasih.
Menurut suami Hamidah, Hasan Delais, “dalam suratnya kepada Balai Pustaka tanggal 2 Juni 1954, Kehilangan Mestika dikarang oleh Hamidah tatkala berumur 19 tahun. Mendiang semasa hidupnya bermaksud membuat sebuah buku lagi tapi rupanya tak kesampaian,” demikian Hasan Delais berkata.
Menjelang akhir hayatnya, Hamidah berniat untuk menghadirkan karya novel lagi ke dal;am belantara khazanah sastra Indoesia. Akan tetapi, keinginannya itu ternyarta hanya sebatas hasrat dari seorang penulis. Ia dipanggil menghadap Tuhan Yang Mahakuasa sebelum keinginan tersebut diwujudkannya.
Di Bangka Belitung masyarakat sendiri pada umumnya tidak lagi mengenal siapa sebenarnya sastrawati asal Mentok yang bernama asli Fatimah Hasan Delais itu. Apalagi untuk mengenal karyanya. Bahkan tidak banyak orang yang mengetahui, bahwa sebenarnya selain romannya yang terkenal, Kehilangan Mestika (1938), sastrawati Angakatan Balai Pustaka itu juga seorang cerpenis dan penyair. Karya-karyanya yang berupa cerpen dan puisi boleh dikatakan hampir tidak bisa ditemui lagi. Upaya untuk menggali jejak Hamidah sendiri pun, seperti yang sedang dilakukan oleh penyair Ira Esmeralda hingga kini tidak pernah jelas bagaimana kabarnya.
Sinopsis novel Kehilangan Mestika karya Hamidah
Buku ini menceritakan seorang Hamidah diri pengarang sendiri yang membuka jalan bagi kaumnya di negerinya, Muntok. Kemudian ia dipindahkan ke Palembang. Dalam perjalananya kapal Muntok-Palembang, terjadilah ikatan sehidup semati dengan Ridhan. Hubungan itu tidak disetujui paman Ridhan, dan Hamidah menerimanya akibatnya kena tipu sehingga pekerjaanya pada gebernumen terlepas, dan Ridhan meninggal oleh pamannya.Kembalilah ia ke Muntok dalam keadaan sakit rohani jasmani. Di Muntok ia aktif lagi. Ketika dua orang pemuda, Anwar dan idrus mencintai sekaligus, ia telah memilih Idrus. Ia dan Idrus kemudian berusaha sehingga Anwar berjodoh dengan Rukiah. Dengan kematian ayahnya, nasib Hamidah menjadi berubah. Ia harus ikut saudaranya ke Jakarta. Karena taktik saudaranya itu, gagalah cita-citanya untuk hidup bersama dengan Idrus. Dikawinkanlah ia dengan Rusli, dengan susah payah, akhirnya hamidah berhasil memindahkan cintanya pada Rusli. Tetapi bersama dengan keberhasilan itu, ia mesti kehilangan Rusli karena yidak mempunyai anak. Atas permintaan sendiri ia bercerai dengan Rusli, karena merasa tak ada lagi gunannya diikat tali perkawinan. Rusli telah berbahagia dengan istri muda dan anaknya. Pulanglah Hamidah ke Muntok dengan membawa keremukan hati tak terkira. Dirinya sudah tua hidup sendiri, terpisah dari yang dikasihi dan mengasihi, karena Idrus yang memilih tidak kawin setelah putus dengan Hamidah, baru saja meninggal.
Unsur Intrinsik Novel Kehilangan Mestika
Unsur intrinsik adalah unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra.Tema
Tema yang terkandung dalam novel Kehilangan Mestika ini adalah kemalangan dan kesedihan tokoh Hamidah. Hal itu dapat tergambar melalui tokoh Hamidah yang berkali-kali kehilangan orang yang amat disayanginya yaitu, ayahnya, Ridhan, dan kemudian Idrus.
Latar / setting
Latar/setting dalam sebuah karya sastra adalah keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan (Zaidan: 2007). Latar dalam novel Kehilangan Mestika ini adalah di kampung halaman Hamidah yaitu di Muntok, Bangka Belitung.
1. Muntok, Bangka Belitung : tempat ayah dan Hamidah tinggal.
2. Padang Panjang : tempat dimana Hamidah bersekolah di Normal Putri.
3. Jakarta : Rumah saudara perempuan Hamidah.
4. sungai liat, bangka : rumah Ridhan dan pamannya.
5. pangkal Pinang : Rumah kediaman bibi dari Hamidah
6. Palembang : Tempat Hamidah dipindahkan kerjanya. Tempat tinggal Rusli bersama orang
tuanya setelah ia menikah.
7. kapal Thedens : Kapal yang ditumpangi Hamidah dan Ridhan saat ke Palembang
8. Talang Semut : Rumah sahabat Ridhan (Ahyar)
Alur
Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Alur yang digunakan didalam novel ini adalah maju.
Tahap Pengenalan
Tahap pengenalan dalam novel ini terdapat pada awal cerita yaitu di bab 1 yaitu terlihat pada prolog, “Aku berumur kira-kira 4 tahun, tatkala aku ditimpa malapetaka, yang tak kuketahui. Ibu yang kucintai, ibu yang wajib menjaga dan mendidik diriku, terpaksa menutup mata untuk selama-lamanya. Sebenarnya kami ada enam beradik, tetapi dua diantaranya telah meninggal sementara Ibu masih hidup. Dalam kami yang tinggal itu adalah tiga perempuan dan seorang laki-laki.
Tahap Konflik atau Pertikaian
Tahap konflik terjadi ketika Hamidah sedang menunggu-nunggu balasan surat Idrus yang tak kunjung tiba. Pada saat itu juga ia diminta saudaranya untuk segera menikah dengan Rusli. Sementara Hamidah bersikeras dalam hati ingin terus menunggu Idrus, orang yang ia cintai. Seperti pada kutipan berikut:
“Kupikir-pikir, tak dapat tiada orang yang dikatakan mereka itu, ialah rusli. Kalau sekiranya aku tolak permintaan mereka, aku akan terbuang dari saudaraku. Kuturut ya...aku bimbang, bingung, takut kalau-kalau kami tak dapat bersesuaian. Dalam pada itu, tampak olehku rupa Idrus, Idrus yang ku tunggu-tunggu dan membuka kebatanku, yang kukasihi! Ah! Tak mungkin! Aku tak mau! Aku mesti menunggu Idrus”
Tahap komplikasi atau rumitan
Tahap komplikasi yaitu pada saat akhirnya Hamidah menerima lamaran Rusli dengan berat hati karena dia mengira Idrus sudah tidak mencintai dirinya lagi. Hamidah pun mengirim surat ke Idrus dan memberitahu kabar tersebut. seperti ini kutipan suratnya:
“sekarang kukatakan kepadamu bahwa surat inilah yang penghabisan dari sahabatmu dengan nama Hamidah. Aku akan memberikan jawaban ‘ya’ kepada saudaraku. Aku akan menerima permintaan orang itu. Maaf! Apakah gunanya aku mengharap-harapkan engkau, padahal engkau sendiri tak sudi menerima kedatanganku? Sekali lagi: maafkanlah aku! Selamatlah engkau! Biarlah, aku mencoba hidup dengan hati setengah, menjadi istri dari seorang lelaki yang tak pernah ku pandang sebagai seorang bakal suamiku.”
Tahap Klimaks
Tahap klimaks yaitu saat rumah tangga Hamidah sedang berbahagia karena Hamidah baru saja mendapatkan warisan dari Ridhan yang berupa uang kontan dan beberapa rumah. Tetapi ketika itu, saat Hamidah sudah mulai mencintai Rusli, ia malah minta untuk kawin lagi karena sudah sepuluh tahun mereka berumah tangga mereka belum mempunyai keturunan. Seperti pada kutipan berikut:
Pada suatu hari ia datang kepadaku. Diceritakannya bagaimana susahnya nanti, apabila kita tak ada keturunan. Sebab itu ia meminta kepadaku akan kawin sekali lagi dengan maksud akan mendapatkan anak. Setelah ku pikir benar-benar maksudnya, kuizinkan permintaannya itu asal saja ia berjanji anak itu nanti diserahkannya kepada jagaanku sedari lahirnya.
Tahap Krisis
Pada tahap konlik dimulai ketika Hamidah merasa kecewa dengan suaminya Rusli dan ia memutuskan untuk kembali ke Muntok, kampung halamannya dan bercerai dengan Rusli. Berikut kutipan ketika ketika Hamidah membuat keputusan :
“Rusli, sekarang aku akan mengeluarkan pikiranku. Engkau setuju atau tidak aku tak peduli. Aku merasa bahasa kita tak dapat lagi hidup bersama-sama sebagai suami-istri. Sebab itu apa gunanya kita masing-masing membiarkan diri kita dikebati oleh tali perkawinan? Marilah kita berdamai, melepaskan diri kita dari ikatan yang telah kita buat belasan tahun yang lalu. Kita sama-sama menanggung. Kesenangan dirimu tak sempurna. Akupun begitu pula. Oleh karena itu, aku minta sekali lagi kepadamu, supaya kita membebaskan diri kita dengan damai.”
Tahap Peleraian
Tahap peleraian adalah ketika Hamidah memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Muntok setelah bercerai dengan Rusli. Sudah 18 tahun dia meninggalkan kampungnya dan sudah banyak yang berubah.
Tahap penyelesaian
Tahap penyelesaiannya ketika Hamidah kembali ke Muntok ia bertemu dengan Idrus yang masih bujang sedang sakit keras. Idrus menyatakan sesuatu kepada Hamidah di saat-saat terkahirnya sebelum meninggal, seperti pada kutipan berikut:
“Dah! A... ku merasa amat beruntung daat meninggal di hadapanmu. Aku tahu! Aku mesti mati. Maafkanlah kelalaianku dahulu menyia-nyiakan cintamu yang suci. Cukuplah aku menderita, aku menghukum diriku. Maafkanlah akan aku, terima kasih banyak”
Setelah itu jadilah Hamidah hidup sendiran. Tidak lagi ditemani oleh orang-orang yang disayanginya.
BACA JUGA :
Analisis Novel Kemarau Karya A.A. Navis
Manusia Lebih Hina dari Binatang
Esai Cerpen di Bibir Laut Merah
Jejak Pendosa
Penokohan
1.Hamidah : tokoh yang banyak mengalami kemalangan, Ia juga sosok wanita yang tegar dalam menerima cobaan.
2.Ayah Hamidah : seorang yang baik pekertinya, selalu menasihati anaknya dengan wejangan yang bagus.
3.Ridhan : laki-laki baik yang mencintai Hamidah sepenuh hati, seorang yatim piatu dan tinggal bersama Pamannya.
4.Paman Ridhan : jahat. Sangat patuh terhadap adat istiadat yang berlaku.
5.Idrus : seorang pemuda kurus, serta pucat sedikit, rupanya tak gagah, tetapi hatinya amat mulia. Perasaannya amat halus, kepandaiannya tentang musik amat sempurna. Penyabar.
6.Anwar : sosok pria yang tangkas dan sigap. Pemboros. Sikapnya tidak lebih baik dari Idrus.
7.Saudara perempuan Hamidah : baik tetapi sedikit licik karena menahan surat Idrus untuk Hamidah.
8.Rusli : baik. Sangat mencintai Hamidah sepenuh hati.
Sudut pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam novel Kehilangan Mestika ini adalah sudut pandang orang pertama serba tahu. Contohnya ada pada kalimat berikut ini: “dia lebih malang daripadaku. Ia adalah anak yang sulung dan bungsu. Ibunya meninggal ketika ia lahir ke dunia. Bapaknya pada beberapa tahun lalu telah berpulang pula.”
Gaya bahasa
Gaya bahasa dalam novel ini yaitu bahasa sehari-hari, hanya saja dalam novel ini terdapat kata-kata kiasan. Berikut kutipannya:
Disangka panas sampaikan petang kiranya hujan di tengah hari.
Amanat
Amanat atau pesan yang terdapat dalam novel Kehilangan Mestika adalah bahwa suatu kehilangan merupakan takdir yang dimiliki setiap manusia, kesedihan yang mendera akibat kehilangan lumrah terjadi tetapi bagaimana pun juga kesedihan itu tidak selayaknya membuat hidup kita terhenti sampai disitu.
Kemalangan Tokoh Hamidah dengan analisis psikologi dan pengaruhnya terhadap Pembaca dalam Novel Kehilangan Mestika
Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra (Ebdraswara, 2008:16). Langkah pemahaman teori psikologi sastra dapat melalui tiga cara yaitu melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra, dilakukan pemilihan karya sastra kemudian menentukan teori-teori psikologi yang relevan, secara simultan menemukan teori dan objek penelitian.
Novel “Kehilangan Mestika” bercerita tentang kemalangan tokoh utamanya yang merupakan perempuan walaupun ditulis oleh pengarang perempuan. Pengarangnya sendiri yang kebetulan menggunakan nama samaran yang sama dengan nama tokoh utamanya terkesan hendak menampilkan ketabahan ketika mengalami suatu kemalangan, tetapi tidak dikembangkan lebih lanjut karena usahanya untuk memajukan harkat kaumnya yang merintiskan perkumpulan bagi kaum wanita pun terhenti karena kehilangan semangatnya setelah beberapa kali ditinggal oleh beberapa orang yang dicintainya.
Kemalangan tokoh Hamidah langsung diperlihatkan di awal novelnya yang menceritakan bahwa Hamidah ditinggal oleh ibunya untuk selama-lamanya. Hal itu terlihat dalam kutipan :
“Aku berumur kira-kira 4 tahun, tatkala aku ditimpa malapetaka jang tak kuketahui, ibu jang kutjintai, ibu yang wadjib mendjaga dan mendidik diriku, terpaksa menutupkan matanya untuk selama-lamanya, sesudah menanggung penjakit beberapa hari sadja.”
Kehilangan yang pertama kali dirasakan oleh tohok Hamidah ini adalah awal dari kisah malang yang dialaminya. Hamidah lalu kehilangan kekasihnya, yaitu Ridhan. Hal itu terlihat dalam kutipan :
“Tak beberapa hari kemudian datanglah pula Ahjar kepadaku membawa sehelai telegram jang diterimanja dari Singapura, mengatakan bahasa Ridhan pada hari tersebut dalam telegram ia sudah meninggal dunia dengan tiba-tiba. Mendengar itu telingaku mendesing, badanku menjadi lemah, achirnya, ja, apa yang terdjadi sesudah itu taklah kuketahui”
Karena kejadian itu. Hamidah hampir dirundung putus asa. Bagaimanapun kehiangan orang yang sangat dicintai tentu akan membuat hat kecewa dan akan dirundung kesedihan. Hal itu terlihat pada kutipan :
“Djasmaniku hidup tetapi rohaniku rusak binasa! Bagaimanakah dan apa gunanja hidup dengan tak mempunjai sukma?”
Kehilangan demi kehilangan membuat dirinya sedih, namun Hamidah dapat kembali membangkitkan semangat hidupnya. Hal itu terlihat pada kutipan
“Tetapi aku masih mau hidup dengan baik. Aku belum putus harapan; biarlah aku berusaha!”
Tak lama, Hamidah kehilangan ayahnya untuk selama-lamanya. Hal itu terlihat pada kutipan
“Sesudah memakan makanan jang dimintjanya itu, penyakitnja makin bertambah keras, sampai kepada ajalnya.”
Dengan kejadian itu membuat Hamidah kehilangan dahan gantungan karena kehilangan seseorang yang menjaga dirinya dan menanggung baik perbuatannya. Tetapi Hamidah tetap bersikap tabah atas apa yang terjadi dalam hidupnya
Kemalangan Hamidah tak berhenti sampai disitu. Karena keputusasaannya yang diakibatkan oleh Idrus yang mengacuhkan cintanya, ia terpaksa menerima pernikahannya dengan seorang yang tak dicintainya. Yaitu Rusli. Namun pernikahannya tidak berjalan lama karena rusli memutuskan untuk menikah lagi dikarenakan Hamidah yang tak kunjung mendapatkan keturunan. Awalnya Hamidah menyetujui keputusan suaminya, namun lama kelamaan ia pun tak kuat juga sehingga pernikahannya harus terhenti dan ia pun harus bercerai dengan suami dan anak tirinya.
Menurut pandangan psikologi, Kelemahan emosi yang sering muncul pada wanita biasanya bersangkutan dengan lingkungan dan logika keadaannya. Depresi dapat menyebabkan manusia berada di titik nol dalam hidupnya. Penyebabnya banyak sekali, ketidakseimbangan dalam otak, stres, kegagalan, berdukacita yang berlebihan, dan konflik emosional (Psikologi Umum, 2003: 92). Dalam hal ini jika dilihat secara logika, seorang wanita yang ditimpa kemalangan berturut-turut hingga pada akhirnya benar-benar kehilangan semangatnya adalah hal yang wajar. Seorang wanita yang mengalami depresi dapat mengalami rasa kesedihan yang terlalu dalam. Hal itu dapat terlihat ketika Hamidah kehilangan semangatnya setelah ia ditinggalkan beberapa orang yang disayanginya. Hal inilah yang ditakutkan dalam kehidupan seseorang, manakala pembaca merasakan apa yang dialami oleh tokoh Hamidah sehingga pembaca tidak ingin seperti dia dan dapat menimbulkan semangat untuk meneruskan perjuangan Hamidah dalam memajukan harkat kaumnya.
Selain itu, akan diperoleh pengalaman yang berdampak bagi kejiwaan seseorang sehingga dapat dijadikan sebagai pembelajaran agar tidak merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh Hamidah. Keistimewaannya adalah dengan sudut pandang keakuan sehingga pembaca seakan-akan terlibat di dalam cerita tersebut dan lebih menonjolkannya sebagai curahan hati pengarang dan pengakuannya terhadap pengarang itu sendiri sehingga melahirkan sebuah opini bahwa emansipasi wanita pada zaman sekarang ini, dalam meningkatkan harga diri dapat dicapai melalui dunia pendidikan karena perjuangan harus terus dilakukan secara berkesinambungan dan masih banyak tantangan zaman yang harus dilewati.
Simpulan
Melalui tokoh “Hamidah” pengarang mengajak pembaca untuk mengetahui dan dapat merasakan kemalngan seorang perempuan yang sering ditinggal orang-orang yang dicintainya. Pandangan masayrakat yan masih berdasarkan gender dan sosok perempuan yang kala itu masih dianggap sebagai pemanis saja, membuat tokoh dalam novel ini banyak mengalami penderitaan. Kemalangan karena ditinggal orang-orang yang dicintainya ditambah dengan tanggapan masyarakat akan dirinya yang berusaha untuk membawa perubahan untuk kampungnya membuat dirinya banyak mengalami tekanan jiwa, alhasil tokoh tersebut sering mengalami gejolak kejiwaan dan pengaruhnya terhadap pembaca karya ini adalah ingin mengajak dan merasakan betapa malangnya seorang perempuan kala itu.
0 Comments