iklan

SEJARAH PENERBITAN PERIODE BALAI PUSTAKA SAMPAI SEKARANG

SEJARAH PENERBITAN 
PERIODE BALAI PUSTAKA SAMPAI SEKARANG
Oleh : Darmawan


Sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia yang sudah berkembang abad ke-20 sebagaimana tampak penerbitan pers (surat kabar dan majalah) dan buku, baik dari usaha swasta maupun pemerintah kolonial . Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah perkembangan karya sastra tidak terlepas dari sejarah penerbitan karya sastra, karena penerbit sebuah karya sastra dapat disebar luaskan dan dapat dinikmati.

Pada awal masa dimulainya percetakan berbentuk karya sastra, diawali dengan mulai dicetaknya surat kabar yang hanya terdiri dari beberapa halaman saja. Meski hanya beberapa halaman saja, nyatanya cetakan berbentuk surat kabar maupun rubrik itu banyak digemari sehingga perkembangan percetakan atau penerbitan tulisan mulai berkembang. Melalui surat kabar dan rubrik yang berisi bermacam tulisan baik sastra maupun berita membuat masyarakat sadar akan pentingnya membaca. Melalui bacaan itulah kaum pergerakan menyadarkan rakyat untuk bergerak melawan penjajah, sehingga bacaan-bacaan tersebut diistilahkan oleh negara kolonial sebagai “bacaan liar”. Seiring semakin maraknya bacaan liar, akhirnya timbul kekhawatiran pada negara kolonial akan bahaya bacaan liar yang dapat menggerakan semangat para penggerak melawan penjajah, maka munculah balai pustaka. balai pustaka tidak hanya dijadikan sebagai penerbitan karya sastra, namun balai pustaka juga digunakan sebagai alat politik untuk membangun pandangan masyarakat yang baik mengenai negara kolonial melalui bacaan yang diterbitkan oleh balai pustaka.

Sistem penerbitan yang awal dalam kesustraan indonesia memperlihatkan betapa pengaruh kekuasaan pemerintah belanda begitu dominan dalam menentukan arah perjalanan kesustraan bangsa ini. Akibatnya memang dahsyat. Riwayat sastra indonesia seolah-olah berpangkal pada balai pustaka. Balai pustaka itu pula yang kemudian menjadi ukuran gengsi sastra indonesia . 

Perhatikan pernyataan A Teeuw, berikut ini: “ Balai Pustaka tidak saja mendorong para pengarang Indonesia supaya menciptakan roman dengan memberikan kepada mereka fasilitas penerbitan yang dalam keadaan waktu itu tidak mungkin diberikan oleh penerbit swasta ..... akan tetapi  biro itu juga menjamin kepada mereka sidang pembaca yang lebih luas ... Timbulnya roman Indonesia modern dan juga kepopulerannya, dapat dimungkinkan terutama oleh wujudnya balai pustaka ....” 

Dalam sejarah sosial, perubahan cara berpikir dan bertindak masyarakat dalam berkebudayaan disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya disebabkan oleh adanya teknologi. Revolusi industri di eropa yang menghasilkan begitu banyak peralatan teknologi dan industri telahmenggelinding masyarakat dari cara pandang dan cara tindak tradisioanal ke dunia modern. Salah satunya adalah alat cetak dan perkembangan dunia penerbitan yang menggunakan alat cetak itu. 

Ketika komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi Dan Bacaan Rakyat (commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) berdiri (1908) sampai berganti nama menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de volkslectuur)  22 Sepetember 1917, naskah yang masuk 598 berbahasa Jawa, 204 berbahasa Sunda, dan 96 berbahasa Melayu. Sampai tahun 1928, balai pustaka menerbitkan tidak lebih dari 20-an novel, sementara penerbit-penerbit milik pernakan Tionghoa, antara tahun 1903-1928, menerbitkan hampir seratusan novel asli karya 12 pengarang peranakanTionghoa. Beberapa diantaranya mengalami cetak ulang. 

Bahwa peranan penerbit swasta menjangkau wilayah yang lebih jauh lebih luas dengan jumlah pembaca yang jauh lebih banyak, tampak tidak hanya dari persebaran agen dan distributor penerbit-penerbit itu, tetapi juga dari sejumlah karya yang mengalami cetak ulang. Di sinilah muncul kesadaran pemerintah kolonial akan bahaya pengaruh bahan bacaan. 

Sangat wajar jika kemudian Dr. D.A. Rinkes, direktur Balai Pustaka ketika itu, mengatakan bahwa buku-buku terbitan di luar Balai Pustaka sebagai “Bacaan Liar” yang dibawa oleh “Saudagar kitab yang kurang suci hatinya.” ...... Bahkan salah satu alasan pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka, justru karena keberadaan penerbit-penerbit swasta itu. 

A. Periode 1850-1933 
Perkembangan Kesustraan Indonesia Modern tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Balai Pustaka. Balai Pustaka sendiri pada awalnya adalah Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat atau  commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur yang didirikan pada tahun 1908. Komisi ini dimaksudkan untuk memerangi “bacaan liar” yang banyak beredar pada awal abad ke-20 .

Balai pustaka sendiri pada awalnya adalah Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat yang didirikan pada tahun 1908. Pekerjaan komisi ini mula-mula memeriksa dan mencetak segala naskah dan cerita yang ditulis dalam bahasa daerah. Balai Pustaka kemudian juga mencetak buku-buku terjemahan dari cerita yang mengisahkan pahlawan orang Belanda dan cerita klasik eropa. Hingga pada 1920 terbitlah roman pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis karangan Merari Siregar. Sejak itu banyak roman dalam bahasa daerah dan Melayu yang diterbitkan Balai Pustaka (Rosidi, 1986). 

Dalam konteks sejarah kesustraan Indonesia, berdirinya Balai Pustaka jelas punya arti penting, betapapun di dalamnya dilatarbelakangi oleh pesoalan politik. Buku Bunga Rampai kenangan pada Balai Pustaka memuat sejumlah artikel yang secara jelas hendak menenpatkan Balai Pustaka dalam peranannya sebagai lembaga penerbitan buku-buku sastra dan buku-buku pelajaran umumnya. Dalam hal ini tidak dapat disangkal jasa Balai Pustaka dalam melahirkan sastrawan dan kritikus sastra Indonesia, sekaligus juga dalam memperkembangkan kesustraan Indonesia Modern.

Mengingat didirikan bertujuan melegitimasi kekuasaan Belanda di Indonesia. Balai Pustakamenerapkan sejumlah syarat – syarat bagi bagi naskah-naskah yang akan diterbitkan. Dr. D.A.R. Ringkes, Kepala Balai Pustaka yang pertama, mensyaratkan naskah-naskah tersebut harus netral mengenai keagamaan, memenuhi syarat budi pekerti, ketertiban dan politik yang dikemudian dikenal Nota Rinkes.

Berkenaan denan kebijakan tersebut, hampir semua novel Balai Pustaka senantiasa memunculkan tokoh mesias atau dewa penolong yang merupakan tokoh Belanda. Sementara tokoh atau pemimpin lokal seperti kepala desa, pemuka agama, atau haji digambarkan sebagai tokoh kejam, tidak adil, dan tukang menikah.

Hal tersebut dapat terlihat jelas pada novel-novel awal Balai Pustaka. Novel Siti Nurbaya (1922) menampilkan tokoh Datuk Maringgih yang busuk dalam segala hal, mendadak menjadi kepala pemberontak yang menentang perpajakan. Ia kemudian mati di tangan Samsul Bahri (Letnan Mas) yang sudah menjadi kaki tangan Belanda. Berdasarkan fakta itulah kemudian tidak salah jika berdirinya Balai Pustaka penuh dengan warna dan nuansa politik yang ingin melegatimasi kekuasaan Belanda di Indonesia.

Melalui cerita-cerita yang digambarkan melalui novel itulah Belanda bermaksud memberikan gambaran dan kesan yang baik mengenai tokoh Belanda. Maka wajar jika Jacob Sumarjo berpendapat bahwa sastra Balai Pustaka tidak muncul dari masyarakat Indonesia secara bebas dan spontan, tetapi dimunculkan dan diatur oleh pemerintah jajahan Belanda sehingga penuh dengan syarat-syarat yang terkait dengan maksud-maksud tertentu. 

Terlepas dari tanggapan di atas, banyak hal yang telah dilakukan Balai Pustaka. pada awalnya lembaga ini hanya menerbitkan bacaan sastra daerah, kemudian menerjemahkan, atau menyadur cerita klasik Eropa, dan akhirnya menerbitkan karangan-karangan baru.

Sekalipun didirikan mulai tahun 1908, serta kemudian diperluas pada tahun 1917, pekerjaan Balai Pustaka barulah produktif sesudah tahun 1920-an. Pada zaman itu Balai Pustka menghasilkan bermacam buku, majalah dan almanak. Buku-buku populer yang terbit meliputi kesehatan, pertanian, peternakan, budi pekerti, sejarah, adat dan lain-lain. Majalah yang diterbitkan Balai Pustaka adalah Sri Pustaka yang kemudian bernama Panji Pustaka berbahasa Melayu (1923), Kejawen berbahasa Jawa (1926) dan Parahiangan berbahasa Sunda (1929). Tiras penerbitan Panji Pustaka pernah mencapai 7.000 eksemplar, Kejawen 5.000 eksemplar, dan Parahiangan  2500. Alamanak yang diterbitkan Balai Pustaka adalah Volksalmanak, Almanak Tani, dan Almanak Guru.

Selain Balai Pustaka milik pemerintah kolonial, ada juga penerbitan milik kaum bumiputra dengan berdirinya NV Javasche Boekhandel en Drukkerrij en Handel in Schrijfbehoeften “Medan Prijaji” pimpinan R.M. Tirto Adhi Soerjo. Selain itu ada juga percetakan Insulinde yang didukung oleh H.M. Misbach yang menerbitkan Mata Gelap (Mas Marco, 3 jilid, 1914) dan percetakan VTSP (Serikat Buruh Kereta Api dan Tram) yang menerbitkan Koran Si Tetap (Yusuf et.al. 2010:44).Penerbit-penerbit milik kaum bumiputra tersebut memelopori bacaan fiksi dan nonfiksi untuk mendidik bumiputra. Sehingga dalam kurun waktu 1920-1926 mulai menjamur ‘bacaan liar’ di kalangan bumiputra yang menumbuhkan semangat pergerakan.   

B. Periode 1930-1942 
Berdirinya penerbitan majalah Pujangga Baru  pada bulan Mei tahun 1933 oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah dengan tujuan menumbuhkan kesusastraan baru yang sesuai dengan zamannya dan mempersatukan para sastrawan dalam satu wadah. Munculnya permasalahan angkatan pada tahun 1934 ketika STA dan kawan-kawan melancarkan kritik tajam kepada para sastrawan sebelumnya melalui artikel berjudul “Puisi Indonesia Zaman Baru”.

Pertarungan antara pengaruh kebudayaan Timur dan kebudayaan Barat (ideologi kolonial). Terjadi arus surut pengaruh kolonial di akhir tahun 1930-an dengan masuknya Jepang pada tahun 1942.  

Ada beberapa majalah yang sudah terbit sebelum Pujangga Baru, yaitu majalah Sri Poestaka (1919-1942), Panji Poestaka (1919-1942), Jong Java (1920-1926), dan Timboel (1930-1933). Tahun 1930 terbit Majalah Timboel (1930-1933) mula-mula dalam bahasa Belanda kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia dengan Sutan Takdir Alisyahbana sebagai Direktur. Sehabis perang Takdir pernah menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952).

Awalnya majalah tersebut di cetak oleh percetakan Kolf milik A. Dahleer, seorang Belanda. Kemudian Sutan Takdir Alisyahbana menerbitkan sendiri. Pujangga Baru terbit sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran bangsa. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalitik, dan elitis. Banyak terobosan yang dikeluarkan Pujangga Baru misalnya masalah penggunaan bahasa yang ditawarkan STA yang mengesampingkan bahasa Melayu yang kemudian diganti dengan perpaduan bahasa daerah masing-masing pengarang dan bahasa asing.

Titik berat perhatian Pujangga Baru mulai bergeser dari kesustraan ke kebudayaan terjadi saat majalah itu memasuki tahun ketiga (Juli 1935). Dinyatakan dalam subjudulnya, “Pembawa semangat baroe dalam kesoestraan, seni keboedajaan, dan soal masjarakat oemoem.” Pernyataan ini kemudian ditegaskan kembali dalam pengantar Redaksi edisi itu: ”...dengan memadjoekan oesaha kesoestraan jang creatief, madjallah ini akan menjinari soal keboedajaan dan masjarakat dengan lampoe pentjari soesoen-an masjarakat persatoen jang akan datang.”

Beberapa pengarang yang aktif menulis melalui Pujangga Baru yang karya-karya muncul pada tahun 30-an dan awal tahun 40-an di antaranya Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, J.E Tatenteng. Pengarang perempuan yang muncul pada periode ini adalah Hamidah yang merupakan nama lain Fatimah Hasan  Delais yang menulis novel Kehilangan Mestika (1935). Periode ini juga memunculkan pengarang yang juga ulama besar yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang biasa dikenal Hamka.

Begitu besar peranan Pujangga Baru yang dengan tiras terbatas dan dana pas-pas dapat memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan terutama kesustraan Indonesia secara konsisten sampai akhirnya berhenti terbit pada Februari 1942 karena kedatangan Jepang ke Indonesia. Penguasa Jepang melarang Pujangga Baru karena dianggap kebarat-baratan dan progresif.

Setelah Indonesia merdeka majalah terbit kembali di bawah kendali Sutan Takdir Alisyahbana dengan dukungan tenaga baru seperti Achdiat K. Mihardja, Asrul Sani, Chairil Anwar, Dodong Djiwapradja, Harijadi S. Hartowardoyo, dan Rivai Apin. Kondisi sosial dan politik yang berubah menyebabkan semangat tahun 1930-an tidak bisa lagi muncul pada masa selanjutnya. 

C. Periode 1942-1945 
Pada masa pendudukan Jepang, menurut sejarawan Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993), penerbitan buku dan seluruh jenis media yang ada digunakan oleh tentara Jepang untuk kepentingan propaganda. Sehingga seluruh karya yang dihasilkan pada saat itu harus sesuai dengan kepentingan propanda Jepang. Pada masa itu surat kabar berbahasa Belanda, Cina, dan Indonesia dilarang terbit oleh pemerintah militer Jepang. Surat kabar Tjahaya Timoer  yang mencoba kritis pada pemerintah Jepang langsung dibredel. Selanjutnya diganti oleh Jepang dengan menerbitkan surat kabar Asia Raja. Pada 8 Desember 1942 Jawa Shinbun sebagai surat kabar berbahasa Jepang terbit untuk pertama kalinya. Dua surat kabar itulah yang menjadi rujukan berita bagi surat kabar-surat kabar di Jawa.

Barisan propaganda Jepang yang dikirim ke Indonesia berada di bawah pimpinan Letkol Kaiji Machida. Anggota terdiri dari sekitar 190-an orang. Lebih dari sebulan lamanya setelah Barisan Propaganda Jepang tinggal di Jakarta, mereka kemudian menerbitkan sebuah surat kabar empat halaman dengan nama Asia Raya. Tepatnya, pada rabu, 29 April 1942, terbitlah Asia Raya dengan susunan kepengurusan yang melibatkan orang-orang Indonesia sendiri. Susunan lengkapnya adalah sebagai berikut :  

Secara tetap, harian ini terbit setiap hari, kecuali hari libur dan hari minggu. Tetapi kadang kala, jika ada berita-berita yang dianggap sangat penting yang terjadi pada hari sabtu, asia raya terbit pula pada hari minggu dengan jumlah halaman yang sama.

Demikianlah, lengkapnya Asia Raya terbit sejak 29 April 1942 dan mengakhiri penerbitanya pada hari jum’at, 7 september 1945. Dari kurun waktu itu, Asia Raya telah menerbitkan sebanyak 216 edisi.

Sejak penerbitan yang pertama kali, 29 April 1942, Asia Raya juga menyediakan rubrik kebudayaan dan Roeangan Poeteti. Pada masa awalnya, sanusi pane kerap mengisi rubrik kebudayaan. Penulis lain juga kemudian mengisi rubrik itu. Rubrik “Roeangan Poeteri” umumnya diisi oleh laporan berbagai kegiatan, atau hal lain yang berkaitan dengan persoalan kewanitaan. Sejalan dengan perkembangan situasi waktu itu, rubrik-rubrik baru, muncul untuk mengangkat masalah sosial yang terjadi di sekitar. Rubrik tanggapan kalbu, sepanjang jalan, Nyiur Melambai, Mata Hari, Sambil Lalu, Kisah Selayang Pandang, merupakan rubrik yang berisi cuplikan peristiwa sosial yang terjadi di sekitar.  

Sejak awal pendirian Asia Raya, masalah kebudayaan agaknya mendapat sorotan yang cukup serius. Rubrik kebudayaan yang semula diasuh Sanusi Pane, pada tahun 1944 kemudian menghilang. Tetapi pembicaraan mengenai sastra dan kebudayaan, termasuk pengumuman lomba, cukup mendapat perhatian yang baik. Sebuah artikel Sanusi Pane, berjudul “ Keboedajaan Asia Raya” mengawali penerbitan Asia Raya (29 April 2602) dan artikelnya yang lain yang terbit dua hari kemudian (1 Mei 2602) berjudul “Ilmoe Semangat”, dapatlah dikatakan mencerminkan sikap yang sejalan dengan  sikap pemerintah pendudukan Jepang di bidang sastra dan budaya. Kedua artikel itu mengangkat kebesaran kebudayaan di Indonesia dan Jepang serta negara –negara di Asia lainnya.

D. Periode 1945-1961
Hingga 1950 industri penerbitan buku Indonesia didominasi oleh Balai Pustaka disamping mulai munculnya penerbit buku nasional seperti Pustaka Antara, Pustaka Rakyat (sekarang Dian Rakyat), Endang, dan beberapa lagi yang semuanya berpusat di Jakarta, Ganaco di Bandung dan lain-lain. Balai Pustaka pasca kemerdekaan hingga tahun 1950 berhasil menerbitkan dan mencetak ulang 128 judul buku dengan tiras 603.000 ekslempar. Pada saat ini pula muncul karya-karya sastra dari para penulis seperti Idrus dengan Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma; Tambera karya Utuy Tatang Sontani; Pramudya Ananta Toer dengan Dia Jang Menjerah dan Bukan Pasar Malam; Mochtar Lubis dengan Si Djamal. Selain karya anak negeri, BP juga menghadirkan karya para penulis dunia seperti Fyodor Dostojevsky, John Steinbeck, Anton Chekov, dan lainnya. Di masa sekarang, penerbit Balai Pustaka rata-rata memprroduksi buku sebanyak 320 judul pertahun, dengan porsi terbesar buku yang cetak ulang dari tahun sebelumnya.

Proklamasi kemerdekaan menciptakan suasana jiwa dan pinciptaan bebas dan merdeka yang sebelumnya terkekang. Berkat kebebasan tersebut berbagai pemikiran dan penciptaan karya sastra kembali marak. Hal ini ditandai dengan muncul berbagai penerbit seperti Panca Raya, Panji Masyarakat, Genta, Basis, Pembangunan, Siasat, Nusantra, Gema Suasana, Mimbar, Pujangga Baru, dan Seniman. Di antara penerbit tersebut yang paling menonjol adalah siasat dengan lampiran kebudayaannya “Gelanggang”. Siasat adalah mingguan yang diterbitkan oleh Soedjatmoko dan Rosihan Anwar. 

Lewat Gelanggang itu para seniman yang dimotori Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Idrus berkumpul dan merealisasikan kemerdekaan dan mengisinya dengan menciptakan karya-karya penting sehingga melahirkan sebuah genarasi baru yang berbeda dengan pujangga baru dan generasi sebelumnya. 

Namun ternyata mengisi kemerdekaan tidaklah semudah yang diangankan. Berbagai penyelewengan menyebabkan timbulnya berbagai krisis, krisis akhlak, krisis ekonomi dan berbagai krisis lainnya. Hal tersebut diperparah dengan pertikaian-pertikaian antar golongan yang melibatkan sastrawan berbeda aliran dan pandangannya. Maka, periode ini lahirlah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mendukung realisme sosial yang berbeda dengan Generasi Gelanggang yang mendukung Humanisme Universal.

Berbagai pertikaian itulah yang akhirnya membuat para sastrawan tidak lagi menulis karya-karya penting yang diterbitkan menjadi sebuah sehingga beberapa pemerhati sastra menganggap kondisi waktu itu sebagai “Krisis Sastra”. Beberapa Karya muncul lebih banyak di berbagau majalah yang memunculkan istilah “Sastra majalah”.

Pada masa ini pula dikenal dengan istilah “Krisis Sastra” hal ini terjadi karena pada saat itu sedikit sekali karya sastra yang ditulis. Soejatmoko mengatakan bahwa karya sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar psikologisme perseorangan semata-mata” roman-roman besar tada ada ditulis.

Salah satu alasan yang mengemukakan adanya “Krisis Sastra” adalah karena sedikitnya jumlah buku yang terbit. Hal ini disebabkan karena kesulitan yang dialami oleh beberapa penerbit. Tidak hanya penerbit yang sudah lama, seperti Balai Pustaka tetapi juga penerbit-penerbit lain diantaranya Pustaka Rakyat, Pembangunan, Tintamas dan lain-lainnya. Perubahan status yang berkali-kali, pergantian pimpinan yang tidak menguasai bidangnya, adalah permasalahan yang dihadapi Balai Pustaka pada waktu selain kekurangan keuangan.

Menghadapi hal terbsebut maka pengarang lebih banyak menulis di majalah-majalah Siasat, Zenith, Mimbar Indonesia dan Lain-lain. Karena keterbatasan ruang maka majalah hanya memuat sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Keadaan itulah yang menyebabkan  lahirnya istilah “Sastra Majalah”. Istilah itu dikenalkan oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya “Situasi 1954” yang dimuat majalah Kompas yang dipimpinnya.

Kemunculan istilah “sastra majalah” tidak lepas dari banyaknya majalah yang beredar pada masa itu. Diantara berbagai majalah yang muncul pada waktu itu ialah Majalah Kisah. Majalah ini menjadi penting dalam sejarah sastra Indonesia karena merupakan majalah sastra yang pertama kali mengutamakan cerita pendek (cerpen). Dewan rek=daksinya adalah Soedjati S.A., H.B. Jassin, M. Balfas, Idrus, dan D.S. Moeljanto.  Majalah ini memuat para pengarang muda, pembahasan cerita pendek, sajak, esai, dan lain-lain. Sejak 1955, majalah ini menambah rubrik khusus bernama “persada” untuk sajak dan esai dengan redaksi Ramadhan K.H. dan Nugroho Notosusanto.

Semangatnya dalah memberikan bacaan yang baik kepada msyarakat sehingga pengarang pun terdorong untuk menciptakan krangan-karangan yang bermutu dengan penuh tanggunag sawab sehingga majalah ini menjadi tolok ukur kepengarangan seseorang. Setiap tahun majalah ini memberi hadian untuk karya terbaik menurut jenisnya. Tahun 1955 majalah ini memilih dan menerbitkan 13 buah cerita yang dianggap terbaik dengan judul Kisah : 13 Cerita Indonesia, yang juga diterbitkan dengan edisi bahasa Belanda.

Majalah ini bertahan mulai Juli 1953 hingga Maret 1957. Penyebab berhentinya karena majalah ini tidak dapat bersaing secara komersial dengan bacaan-bacaan cabul yang menjamur saat itu. Akan tetapi, dalam usianya yang relatif singkat telah melahirkan banyak pengarang penting diantaranya Nugroho Notosusanto yang menerbitkan tiga kumpulan cerpen Hujan Kepagian (1958), Kisah Tiga Kota (1959) dan Rasa Sayange (1963). Pengarang lainnya ialah AA Navis yang melahirkan kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami (1956), dan pengarang lainnya.

Setelah berhenti beberapa tahun beberapa pengarang mencoba menghidupkan lagi majalah Kisah dengan nama baru yaitu, Sastra pada Mei 1961. Bertindak sebagai ketua Redaksi H.B. Jassin dibantu oleh D.S. Moelyanto dan M. Balfas sebagai anggota redaksi. Seperti halnya majalah kisah, Sastra juga lebih banyak memuat cerpen dibandingkan puisi, kritik dan esai. Beberapa penulis cerpen yang mengisi majalah ini ialah B. Soelarto, Bur Rasuanto, A. Bastari Asmin, Satyagraha Hoerip Soeprobo, Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Poyk, B. Jass dan lain-lain.

Namun, karena situasi politik yang tidak menguntungkan. Akhirnya pada maret 1964 majalah tersebut menghentikan penerbitannya.

E. Peride 1961 -1971
Polemik anatara sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mengususng nilai-nilai Realisme Sosial dengan sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang mengusung nilai-nilai Humanisme Universal, yang tiada akhir tersebut membuat kebudayaan kita menjadi tidak sehat dan tidak produktif. Besarnya pengaruh PKI akibat keluarnya Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) menguntungkan organisasi yang bernaung dibawaahnya seperti Lekra. Akibatnya pada masa itu karya sastra yang tidak sepaham akan dihantam dan dimusnahkan. 

Lekra juga melancarkan kampanye menghabisi penerbit-penerbitindependen yang dianggap bersebrangan. Korbannya antara lain penerbit yang mengedarkan terjemahan Dr. Zhivago karya pengarang Rusia, Boris Pasternak, dan sejumlah penerbit buku Islam. Beberapa pengarang yang tidak sepandangan dengan Lekra menghidupkan kembali majalah Kisah dengan nama baru yaitu Sastra pada Mei 1961. Mereka tetap konsisten dengan konsep “otonomi seni untuk ditengah kehidupan” di tengah slogan “polemik adalah panglima” yang digaungkan Lekra dengan penuh ancaman dan agresivitas.

Kehidupan politik selama tahun 1964, 1965, dan awal tahun 1966 berpengaruh terhadap kehidupan kesustraan. Kesustraan Indonesia kurang menggembirakan. Buku-buku sastra jarang terbit. Majalah kebudayaan terutama sastra, tempat pengarang   menyebarkan hasil karyanya juga tidak terbit (kecuali majalah baris di Yogyakarta).

Angin segar mulai bertiup kembali dengan terbitnya majalah sastra Horison. Majalah ini terbit pada 1 Mei 1966. Pengasuh majalah ini terdiri dari Mochtar Lubis (penanggung jawab), H. B. Jassin, Zaini, Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan D.S. Moeljanto.

Majalah ini merupakan kekuatan baru dalam kesustraan Indonesia. Kreativitas para seniman dan sastrawan yang selama ini terbungkam mendapat penyaluran dalam majalah ini. Kesustraan Indonesia seolah-olah hidup kembali.

Perjalanan selama sepuluh tahun Horison dicatat oleh Jacob Sumardjo dalam artikel di Kompas 9 Maret 1976. Selama satu dekade tersebut Horison telah banyak menghasilkan karya-karya yang dianggap penting sehingga majalah ini dipakai tolok ukur sastrawan Indonesia walaupun tidak mewakili keseluruhan coraknya.

Untuk memperluas cakupannya Horison membuat sisipan Kakilangit, lembaran khusus untuk siswa Sekolah Menengah Umum, Madrasah Aliyah, dan Pesantren seluruh Indonesia sejak November 1996. Dengan sisipan Kakilangit itu Horison  yang hanya mencetak 3.000 eksemplar, pada tahun 1997 telah melekit tirasnya menjadi 125.000 yang sebagian besar memang ditunjukan ke sekolah dan pesantren.

F. Periode 1971 – 1998
Pada masa ini banyak minat anak muda menulis semakin besar sedangkan media penyaluran kreativitas hanyalah majalah Horison. Akibatnya, majalah sastra tidak dapat menampung semua puisi-puisi yang dikirimnya. Pengarang yang muncul di majalah tersebut hanyalah pengarang-pengarang yang sudah mapan. Persaingan dan perjuangan untuk tampil itulah yang melahirkan puisi mbeling yang dikenal juga dengan sebutan “puisi lagu”, “puisi awam”, “puisi pop”, “puisi setengah mateng”, “puisi jengki”, dan sebagainya. Adapun majalah yang memuat puisi seperti itu ialah Aktuil, Stop, Top, dan Yunior.

Munculnya anggapan masyarakat terhadap keberadaan majalah nonsastra sebagai majalah sastra, bisa jadi karena ketika itu jumlah terbitan masih sangat terbatas. Seperti yang diketahui, penerbitan karya sastra Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abang ke-20 pada umumnya muncul melalui majalah yang beraneka ragam bentuk dan jenisnya. Majalah-majalah yang memuat karya tulis berjenis sastra, baik itu secara rutin (memiliki rubrik terntentu) maupun secara tidak rutin (tidak memiliki rubrik tertentu) serta-merta dianggap sebagai majalah sastra  

Secara umum dapat disimpulkan bahwa majalah hiburan yang terbit pada dua dasawarsa ; 1970 – 1989 (khususnya tiga belas majalah yang dijadikan percontoh, yakni femina, gadis, kartini, Contessa, Midi, Dewi, Varia, Vista, Flamboyan, Top, Kuntum, Aktuil, dan Unique) memiliki peran peran yang besar terhadap kesusastraan Indonesia modern. Peran besar yang disandang oleh majalah hiburan ini bukan hanya penyediaan tempat menulis pengarang, tetapi juga berkaitan dengan persoalan penyebarluasan karya sastra. Majalah hiburan ini menjadi salah satu tumpuan bagi pengarang ketika itu untuk mengembangkan bakat dan kreativitasnya.  

Selain munculnya majalah yang memuat puisi-puisi mbeling, semarak pula majalah-malajah khusus wanita yang itu mengentalkan tradisi sastra populer di Indonesia. Peranan majalah dan surat kabar dalam kesustraan Indonesia sangat menonjol. Perjalanan media massa dalam konteks kesustraan memiliki sejarah panjang. Hal ini dipertegas pada periode ini. Setelah terbitnya kembali koran-koran yang diberendel pada masa orde lama seperti  Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis dan Merdeka dengan pimpinan B. M Diah beberapa koran baru terbit di beberapa kota di Indonesia.

Di Jakarta terbit Kompas, Berita Yudha, Angkatan Bersenjata, dan Suara Karya. Di Bandung terbit Pikiran Rakyat, di Surabaya terbit  Surabaya Post, di Semarang terbit Suara Merdeka dan Angkatan Bersenjata, di Malang terbit Suara Indonesia,  di Medan tebit Waspada, dan di Padang terbit Haluan.  Hampir semua penerbitan itu menyediakan rubrik sastra dan budaya setiap minggunya berisi sajak, cerpen, kritik dan cerita bersambung.

Pada masa ini muncul istilah “sastra populer”. Istilah populer mencakup karya-karya penerbitan yang diproduksi secara massal dan cepat. Karena diproduksi massal itulah harganya murah. Kehadiran novel-novel populer di Indonesia sudah ada sejak awal perkembangan kesustraan Indonesia. Kalau kemudian berkembang subur pada tahun 1970-an maka faktor sosial, politik dan ekonomi merupakan pendukung yang penting. Pada masa itu faktor-faktor tersebut mulai stabil sehingga bermunculan industri-industri baik media massa maupun penerbitan. Pada masa itu pula menjamur majalah-majalah wanita seperti : Femina, Kartini, Sarinah, dan Dewi yang juga menghadirkan kolom cerpen.

Sementara itu, berkembang pula sejumlah penerbitan baru seperti Gramedia, Cypress, Gaya Favorit Press, Kartini Grup, dan lain-lain. Penerbit-penerbit tersebut gencar memproduksi novel-novel oplah atau tiras yang terbilang fantastik. Kalu novel sastra “serius” memproduksi dengan tiras sekitar 3000 eksemplar, novel populer dapat terbit dengan tiras 2-3 kali lipat.

Dengan semakin digemarinya novel-novel populer, maka prosuksi novel ini sangat luar biasa. Pada masa itu telah terbit 500 judul novel populer yang dikarang oleh beberapa pengarang juga sangat luar biasa produktifnya.

G. Periode 1998 - Sekarang
Era reformasi tahun 1999 dianggap sebagai tahun terbukanya pintu kebebasan di segala bidang mulai dari sosial, ekonomi, dan politik, tanpa kecuali politik perbukuan. Pada tahun itu pula pemerintah mencabut peraturan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers. Aturan tersebut sebenarnya dikhususkan bagi perusahaan penerbitan pers. Namun secara tidak langsung pencabutan aturan tersebut mendorong semakin banyak orang maupun lembaga mengekspresikan pendapatnya, yang salah satunya dengan cara menerbitkan buku.

Penandatanganan perjanjian perdagangan bebas oleh Indonesia, General Agreement on Tariff and Trade pada tahun 1994, dan  ASEAN Free Trade Area pada tahun 1995, membawa konsekuensi pengurangan peran pemerintah dalam bisnis penyediaan barang dan jasa, termasuk pengadaan buku pelajaran. 

Pada masa Orde Baru, pengadaan buku pelajaran dilakukan oleh pemerintah melalui penerbit Balai Pustaka yang berstatus BUMN. Buku pelajaran mulai dari sekolah dasar hingga SLTA wajib menggunakan buku terbitan Balai Pustaka. Sedangkan buku pelajaran dari penerbit swasta hanya sebagai buku pelengkap saja. 

Sebagai akibat dari penandatanganan perjanjian perdagangan bebas, pemerintah mencabut peraturan tersebut dan menyerahkan kepada mekanisme pasar. Sejak saat itu jumlah penerbit baru terus bertambah dan bertumbuh bak jamur di musim hujan. Pada saat itu pula mulai muncul berbagai masalah dalam bisnis perbukuan. Misalnya tentang distribusi buku pelajaran, para penerbit menghubungi langsung para guru pengampu pelajaran agar menyuruh siswanya membeli buku tersebuat. Selanjutnya para guru tersebut mendapatkan imbalan tertentu dari penerbit.

Praktik tersebut membuat persaingan antarpenerbit semakin sengit. Mereka berlomba-lomba menurunkan harga buku atau menaikkan komisi untuk tenaga pendidik di sekolah agar buku mereka yang digunakan. Praktik tersebut merusak harga pasaran buku pelajaran dan menurunkan kualitas isi buku pelajaran.

Mengatasi persoalan buku pelajaran yang mahal, pemerintah mengeluarkan kebijakan mendanai penerbitan buku-buku pelajaran tertentu dengan menggunakan dana Bantuan Operasi Sekolah. Kebijakan ini di satu sisi menguntungkan bagi sekolah-sekolah swasta atau sekolah negeri dengan kemampuan finansial rendah. Namun dari segi bisnis, kebijakan tersebut dianggap sebagai dominasi pemerintah terhadap pasar dan penerbit. 

Selain buku pelajaran, ada beberapa fenomena menarik dalam pasang surut bisnis perbukuan di Indonesia paska reformasi. Pertama, buku motivasi. Sekitar dekade 90-an di Indonesia, khususnya Jawa, sedang marak fenomena Multi Level Marketing atau biasa dikenal dengan sebutan MLM. Orang-orang tergiur dengan janji keuntungan yang besar dalam waktu yang cepat. Kelompok-kelompok MLM biasanya memiliki jadwal pertemuan antarsesama anggota. Salah satu kegiatan pertemuan tersebut adalah pemberian motivasi dari leader atau anggota yang sudah mencapai level tinggi. Sekali sang leader mengatakan bahwa suatu produk atau buku tertentu itu bagus, maka para downline akan segera mencari dan membacanya. Itu sebabnya buku-buku motivasi dan MLM seperti Rich Dad Poor Dad, Cashflow Quadrant, Skill with People, Berpikir dan Berjiwa Besar, Financial Revolution marak diburu.

Kedua, tren fiksi Islami. Ditandai dengan kemunculan novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-syirazi. Novel ini melejit salah satunya karena ekspos media massa. Pada saat itu novel yang berlatar Negara Mesir tersebut dianggap menawarkan nuansa dan kisah cinta yang tak biasa di Indonesia. Bahkan novel tersebut akhirnya dibuat versi film layar lebar. Akibatnya, muncul karya-karya fiksi dengan tema serupa, desain muka yang mirip, bahkan cara penulisan nama pengarangnya.

Ketiga, tren fiksi petualangan. Pada tahun 2005 ada satu novel sangat laris yaitu Laskar Pelangi. Novel tersebut mengisahkan tentang perjalanan seorang anak kampung yang berhasil mewujudkan impiannya untuk kuliah di luar negeri. Novel tersebut juga diproduksi dalam versi film layar lebarnya pada tahun 2008, dan sukses. Kesuksesan Laskar Pelangi tidak berhenti sampai di situ. Laskar Pelangi kemudian dibuat versi serial, pentas musikal, dan diterjemahkan serta dipasarkan ke 20 negara di dunia.

Sebenarnya fiksi yang bercerita tentang petualangan atau perjalanan tokohnya sudah pernah booming di era 90-an, yang paling terkenal misalnya Balada Si Roy. Namun yang membedakannya adalah Laskar Pelangi memberi inspirasi pembacanya tentang kondisi pendidikan di Indonesia dan petualangan di luar negeri. Sejak saat itu juga banyak muncul karya-karya fiksi yang menggambarkan suka duka hidup di negeri orang. Ada yang ditulis keroyokan ada juga yang perorangan. Selain itu juga marak buku-buku saku berisi tips bepergian ke luar negeri lengkap dengan rincian biaya yang diperlukan. 

Terakhir, munculnya buku elektronik. Perkembangan teknologi selalu membawa inovasi dan cara baru bagi manusia menikmati hal-hal tertentu, termasuk membaca buku. Harga laptop atau netbook yang semakin terjangkau dan meningkatkan kesadaran masyarakat atas kelestarian lingkungan memunculkan kebiasaan baru masyarakat yaitu membaca buku elektronik. Meskipun mungkin kebiasaan ini baru diadopsi oleh kalangan ekonomi menengah ke atas dan berpendidikan.

Kesimpulan
Sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia yang sudah berkembang abad ke-20 sebagaimana tampak penerbitan pers (surat kabar dan majalah) dan buku, baik dari usaha swasta maupun pemerintah kolonial. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah perkembangan karya sastra tidak terlepas dari sejarah penerbitan karya sastra, karena penerbit sebuah karya sastra dapat disebar luaskan dan dapat dinikmati. 

Pada awal masa dimulainya percetakan berbentuk karya sastra, diawali dengan mulai dicetaknya surat kabar yang hanya terdiri dari beberapa halaman saja. Meski hanya beberapa halaman saja, nyatanya cetakan berbentuk surat kabar maupun rubrik itu banyak digemari sehingga perkembangan percetakan atau penerbitan tulisan mulai berkembang.

Perkembangan Kesustraan Indonesia Modern tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Balai Pustaka. Balai Pustaka sendiri pada awalnya adalah Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat atau  commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur yang didirikan pada tahun 1908. Komisi ini dimaksudkan untuk memerangi “bacaan liar” yang banyak beredar pada awal abad ke-20.

Pada perkembangannya sejarah penerbitan sampai sekarag selalu mengalami masalah masing-masing disetiap zamannya, mulai dari sedikitnya karya sastra yang terbit sampai terjadinya peralihan zaman yang menyebabkan penerbitan menurun, akibat perkembangan zaman yang mengarah ke era digital yang menyebabkan peranan penerbitan berkurang.

DAFTAR PUSTAKA
Erawati, Rosida dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, Jakarta; UIN Jakarta, 2011.
Mahayana, Maman S, Ekstrinsik Sasatra Indonesia,  Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Sri Danadana, Agung. dkk, Peran Majalah Hiburan Tahun 1970 – 1989 dalam Perkembangan Kesusastraan Indonesia Modern, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2004.
Yudiono K.S, Pengarang Pengantar Sastra Indonesia, Jakarta PT Grasindo 2007
Diah Haryanti, Novi, Marco, Balai Pustaka, dan Bacaan Liar, diunduh dari http://ruangkata-katavie.blogspot.com/2011/10/marco-balai-pustaka-dan-bacaan-liar.html pada sabtu 13 Juni 2015
Satwikobudiono, Periodisasi Perkembangan Sastra Indonesia, diunduh dari https://satwikobudiono.wordpress.com/2013/04/23/periodisasi-perkembangan-sastra-indonesia/ pada Minggu 14 Juni 2011

Post a Comment

1 Comments

  1. Terima kasih infonya, Gan. Semakin menambah wawasan terkait sejarah penerbitan.

    Jika ada waktu luang silakan mampir ke blog kami.

    ReplyDelete